Cagar Budaya

Informasi
Bangunan Cagar Budaya

Arca Joko Dolog

Jl Taman Apsari, Embong Kaliasin, Genteng
Bangunan Cagar Budaya

Di kalangan masyarakat Surabaya, terdapat sebuah arca yang dikenal dengan nama arca Joko Dolog, dimana arcanya masih berdiri tegak di Taman Apsari tepat diseberang Gedung Grahadi Surabaya. Cerita rakyat yang diceritakan turun temurun itu berawal dari sang ibu yang kesal memanggil Joko Truno anak lelakinya yang tak kunjung menyahut. Akibat ketidaksabaran sang ibu dikutuklah sang anak hingga berubah menjadi batu yang duduk dhelag-dhelog seperti anak bodoh. Tentu saja itu hanya cerita rakyat yang diceritakan ibu ke anaknya agar tidak seperti Joko Truno.

Menurut sejarahnya, arca Joko Dolog merupakan perwujudan dari Raja Kartanegara dari Singasari dalam bentuk Budha Mahaksobhya. Dalam sejarah Indonesia, Raja Kartanegara dikenal sebagai peletak atau pencetus konsep politik wawasan Nusantara di Indonesia. Pandangan politiknya tertulis dalam prasasti di dasar patungnya yang dikenal dengan nama prasasti swadarma atau prasasti Wurare.

Sri Kartanegara tokoh pemersatu umat Siwa dan Budha itu wafat tahun 1292 dan dicandikan di Candi Jawi dalam bangunan sinkretik Siwa-Budha. Terhadap bangunan ini, W.H. Rasser berkomentar dalam buku “Siwa dan Budha”: “Kita dapati suatu yang aneh, yaitu adanya kedua agama yang bercampur seakrab-akrabnya bahkan membentuk kesatuan. Tetapi anehnya keduanya tetap mempertahankan kemerdekaannya”. Rassers bahkan  menyebut Candi Jawi di Prigen itu sebagai “puncak toleransi” karena digunakan bersama-sama oleh umat agama Siwa dan Budha. 

Sayangnya, ketika Hayam Wuruk meninjau ke Candi Jawi, arca Budha Mahaksobhya itu telah hilang. Menurut Nagarakrtagama pupuh LVII, hilangnya arca itu terjadi pada tahun saka api memanah hari atau tahun 1253 S/1331 M. Apakah arca Aksobia dari Kedung Wulan itu berasal curian dari Candi Jawi ) Bila diperhatikan patung Aksobhia yang dijuluki Joko Dolog  bagian kepalanya adalah gundul atau plothos Jawa, sedang patung Aksobhia dari Candi Jawi bermahkota tinggi yang sangat indah. Kesaksian Prapanca dalam Negaarakertagama pupuh 66 baris kedua sebagai berikut.

2…………………………………………………………………………….

 ,,,,,,,,,,,,,……………………………………………………………………

Arca Aksobhia  bermahkota tinggi sungguh indah tiada tara,

Yang karena sucinya hilang, memang keluhuran dzatnya : TIADA.

 Arca tersebut berasal dari desa Kedungwulan, Nganjuk, kemudian dipindahkan lagi di Bejijong, Kec. Trowulan, Mojokerto. Pada tahun 1827, Residen de Salls mengangkut arca tersebut ke Surabaya untuk diboyong ke Negeri Belanda, namun kemudian tidak jadi dan terdamparlah di Taman Simpang (Taman Apsari) hingga sekarang. Semula Taman Apsari merupakan taman rumah (tuin huijs) kediaman Residen (Residence wooning). Masyarakat menyebut arca Aksobhya yang tubuhnya hitam legam dan berkepala nampak plontos itu dengan nama Joko Dolog.
Di lapik (alas) tempat duduk atau berdiri arca Joko Dolog terdapat tulisan kuno (epigrafi) yang disebut dengan Prasasti Wurare. Tulisan berbahasa Sansekerta itu bertarikh (hari, bulan, dan tahun) 21 September 1289 dan terdiri dari 19 baris. Tulisan tersebut berhasil diterjemahkan oleh Prof. H. Kern. Terjemahan Prasasti Wurare diterbitkan dalam TBG LII (1910) yang kemudian dimuat di buku Verspreide Geschriften VII halaman 187-100 dengan judul “De Sanskrit-inscriptie van het Mahaksobhyabeeld te Simpang (Stad Surabaya 1211 Saka)”.


-