Cagar Budaya

Informasi
Bangunan Cagar Budaya

Eks Rs Mardi Santoso

Jl; Bubutan 93, Alun-alun Contong, Bubutan
Bangunan Cagar Budaya

Menurut javapos.nl, Meesjesweeshuis atau Panti Asuhan Putri Protestan dibangun tahun 1854 dipimpin oleh direktur Addy Duvekot sejak tahun 1936. Namun dibuku Oud Soerabaia menuliskan “Panti Asuhan Gadis baru di Boeboetan tahun 1913”, lalu berubah menjadi rumah sakit Mardi Santoso pada tahun 1951, kemudian kepengelolaan beralih kapada geraja protestan tahun 1995 dan berubah nama menjadi Rumah Sakit Griya Husada, lalu tahun 2007 berubah menjadi Restoran Halo Surabaya, karena persengketaan lahan pada tahun 2014 berhenti beroperasi sampai sekarang. Sama seperti bangunan-bangunan peninggalan Belanda lainnya, ciri gaya arsitektur art deco dapat dilihat dari jendela berukuran besar, pilar-pilar berukuran besar sebagai pembatas ruangan. Serta interior lainnya seperti bagian pintu yang lebar, lalu bentuk ruangan luas dengan plafon menjulang tinggi. 

Konsep luas lebar dan tinggi ini disebut-sebut mengadaptasi dari cuaca kota Surabaya yang memang sejak dulu terkenal dengan suhunya yang sangat tinggi. Dapat dikatakan Pemerintah Hindia Belanda memang membangun bangunan ini untuk menampung anak yatim piatu putri (didalam arsip foto sepertinya tidak hanya diperuntukan untuk yatim piatu dari Belanda saja tapi juga pribumi, tentunya pribumi yang memiliki kelas sosial tinggi) didalam panti asuhan ini terdapat balai pengobatan, mungkin dari balai pengobatan inilah nantinya akan menjadi cikal bakal berdirinya Rumah sakit Mardi Santoso.

Pada tahun 1854 panti asuhan putri ini berubah menjadi Rumah sakit Mardi Santoso oleh perkumpulan Mardisantoso, pada tahun 1995 pengelolaan dari perkumpulan Mardisantoso ke Gereja Protestan Indonesia bagian barat lalu beralih ke Yayasan kesehatan GPIB dan berubah nama menjadi Rumah sakit Griya Husada, sekitar tahun 2007an di mulai perubahan menjadi Restauran Halo Surabaya, berikut adalah informasi dari Bert Immerzeel (pengamat sejarah di Eropa), tentang Panti Asuhan Putri Protestan dari awal pembentukan sampai jaman penjajahan Jepang, “kisah yang menarik melihat perjuangan pengurus panti tersebut. Sebelumnya pada jaman Belanda, bangunan ini hanya panti asuhan putri, dan didalam panti asuhan itu ada balai pengobatan”. Pada jaman jepang masih digunakan sebagai panti asuhan tapi pengelola yang berkebangsaan Belanda dilarangan mengelola panti asuhan ini dan dibawa ke kamp jepang kemudian pengelolaha panti asuhan ini diteruskan oleh orang non Belanda (entah pribumi atau Jepang sendiri). 

Pada masa perang kemerdekaan (pasca Indonesia merdeka) bangunan ini tetap difungsikan sebagai panti asuhan, tapi balai pengobatan diberdayakan untuk melayani umum sebagai bentuk pelayanan masyarakat dari gereja yang menaunginya. Dalam pekembangannya balai kesehatan ini berkembang menjadi rumah sakit dan Pantai asuhan yang dulu terletak dibangunan utama berpindah kebangunan samping (bangunan sayap kanan dan kiri). Pada gambar foto terlihat bangunan utuh saat masih berupa panti asuhan. Dapat dilihat bangunan sayap kanan dan kiri. Sedangkan saat ini bangunan sayap kanan dan kiri sudah roboh dan hanya menyisakan bangunan utama. Terlihat puncak bangunan dan genting masih sama seperti aslinya. Tampak halaman belakang begitu luas. Karena tujuan awal dari bangunan ini digunakan sebagai panti asuhan dalam skala yang besar, maka dari halaman belakang ini didesain agar dapat menjadi area belajar dan bermain anak-anak panti asuhan.