Cagar Budaya

Informasi
Bangunan Cagar Budaya

Gedung Gni/museum Dr Soetomo

Jl. Bubutan 87, Bubutan, Bubutan
Bangunan Cagar Budaya

Salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia yaitu Dr. Soetomo, memiliki peran yang penting bagi berdirinya Gedung Nasional Surabaya (GNI) Surabaya. Ia adalah orang yang mencetuskan ide pembangunan gedung tersebut. Sekembalinya ke Indonesia tahun 1923 setelah menyelesaikan studinya di Universitas Amsterdam dan Universitas Hamburg, ia mendirikan perkumpulan Indonesische Studieclub (IS) pada tanggal 11 Juli 1924. Ia menjalankan perkumpulan tersebut berbekal pengalamannya ketika masih studi di Belanda menjadi anggota Perhimpoenan Indonesia. IS merupakan persatuan pertama di Hindia (Belanda) yang berusaha untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat pribumi dengan memberitahukan kepada mereka tentang situasi politik dalam dan luar negeri. Selain itu, IS memusatkan perhatian kepada para penghuni kampung Surabaya dengan harapan agar anggota-anggotanya terbiasa peduli terhadap kesusahan kampung.Pada bulan Januari 1931, IS diubah menjadi Persatoean Bangsa Indonesia (PBI).

 

Soetomo mulai memiliki ide untuk mendirikan GNI ketika ia memotori IS. Latar belakang ide Soetomo tersebut adalah ketika bangsa Indonesia di Surabaya ingin mengadakan rapat-rapat umum di gedung-gedung (seringkali gedung bioskop) untuk membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan nasib rakyat jajahan, rapat-rapat tersebut gagal terlaksana karena tekanan politik pemerintah kolonial Belanda, padahal sewa gedung sudah dibayar. Ide tersebut disetujui oleh teman-teman seperjuangan Soetomo dari IS antara lain R.M.H. Soejono, R.P. Soenario Gondokoesoemo, R. Soedjoto dan Achmad Djais. Selain latar belakang tersebut, ide Soetomo juga diilhami dari gedung nasional milik Polandia. Hal tersebut terlihat dalam tulisan Soetomo yang berjudul Teladan dari Polandia yang ditulis tahun 1932. Ia terinspirasi dari rakyat Polandia yang mendirikan gedung nasionalnya ketika mengungsi ke Swiss akibat negaranya diserang bangsa-bangsa besar Eropa saat itu antara lain Jerman, Austria, Hongaria, dan Rusia. Gedung nasional Polandia digunakan oleh rakyat Polandia di pengungsian untuk berkumpul merundingkan perjuangan mereka merebut kembali Polandia.

 

Langkah pertama yang dilakukan untuk mewujudkan pembangunan GNI Surabaya adalah membentuk dahulu Yayasan Gedung Nasional Indonesia (Stichting Gedung Nasional Indonesia) tanggal 21 Juni 1930 dihadapan Notaris H.W. Hazenberg kemudian disahkan oleh Raad van Justitie dan Hoggerechten di Batavia dahulu. Pengurus pertamanya antara lain:

Ketua : Dr. R. Soetomo

Penulis : R.P. Soenario Gondokoesoemo

Bendahara : R.M.H. Soejono

Komisaris : R. Soedjoto

Komisaris : Achmad Djais

 

Perencanaan pembangunan GNI Surabaya adalah Ir. Anwari dan R. Soendjoto. Tanah yang diperuntukkan bagi pembangunan GNI dibeli dari Tuan Ruthe dan Maxen seharga f. 48.000 ditambah ongkos notaris dan bea balik nama sebesar f. 2000 dan f. 50.000, sedangkan rencana awal menelan biaya f. 200.000 untuk membangun kompleks GNI. Lahan yang digunakan untuk pembangunan gedung itu terletak di jalan Bubutan, tepatnya ketiak gedung sudah jadi beralamat di Jalan Bubutan 85-87.

Para pendiri GNI juga bersama-sama menyumbang uangnya sejumlah f. 10.000 untuk pembangunan gedung ini. Untuk menambah dana, maka diadakanlah Pasar Derma Nasional di Kranggan yang ternyata cukup sukses. Bahkan ketika pembukaan, Soetomo menerima cek sebesar f. 30.000 untuk pembangunan GNI dari sumbangan dokter Indonesia yang tidak mau disebutkan namanya.

Pembangunan GNI mendapat sambutan cukup baik dari masyarakat. Mereka banyak menyumbang peralatan seperti batu merah, kapur, semen, pasir, dan sebagainya serta ikut membantu membangun. Bantuan tersebut tidak hanya datang dari masyarakat Surabaya saja tetapi juga dari beberapa wilayah di Indonesia. Selain itu, sumbangan juga datang dari anak-anak kecil yang mengorbankan celengannya dan diserahkan kepada Soetomo. Ludruk Cak Durasim (Ludruk Genteng Surabaya) juga ikut memeriahkan Pasar Derma Rakyat dengan mengadakan pertunjukan dalam pasar tersebut tanpa meminta bayaran.

Peletakan batu pertama untuk fondasi GNI diresmikan tanggal 13 Juli 1930 di Bubutan, Surabaya , dilakukan oleh Kaum Isteri Indonesia dan diabadikan dengan batu peringatan dari marmeran oleh Kongres Wanita PPII (Perikatan Perhimpoenan Isteri Indonesia) pada tanggal 13 Desember 1930. Dalam Kongres PPII tersebut menetapkan asas perkumpulan itu yaitu : kebangsaan, persamaan, penghargaan hal di antara laki-laki dan perempuan, kesosialan. Pembangunan gedung ini berjalan agak lambat. Menurut Soetomo, hal itu disebabkan malaise atau krisis ekonomi yang melanda dunia waktu itu. Selain itu, masih menurutnya, rakyat belum memiliki semangat yang tebal seperti rakyat Polandia karena belum mantapnya persatuan dan pengabdian terhadap Ibu Pertiwi belum meliputi seluruh rakyat.  Sayangnya tidak diketahui persis kapan pembangunan GNI Surabaya selesai total. Yang pasti, awal tahun 1932 sebagian pembangunan gedung sudah selesai dan sudah digunakan untuk tempat berlangsungnya Kongres Indonesia Raya I mulai tanggal 1-3 Januari 1932 yang dihadiri juga oleh Soekarno setelah ia keluar dari penjara Sukamiskin pada Desember 1931.

 

Pertemuan KNID di GNI Surabaya tersebut dipimpin oleh Doel Arnowo yang merupakan ketua. Para anggota KNID berdebat mengenai resiko-resiko yang dihadapi jika berusaha menyerang Hotel Oranje dan mendengarkan pendapat Moestopo sebagai wakil BKR yang bersikeras mengambil alih hotel tersebut. Pada hari yang sama di bagian lain GNI berlangsung rapat kedua yang dipimpin oleh Roeslan Abdulgani. Rapat itu membicarakan persiapan untuk melucuti pasukan Jepang yang masih ada di Surabaya dan pengumpulan senjata untuk melawan sekutu. Hasil yang dicapai adalah menolak pendekatan persiapan untuk menghadapi ancaman Belanda bersama Jepang dan Sekutu dan lebih mendorong perlawanan aktif melawan Jepang, serta pembentukan Pemuda Republik Indonesia (PRI).

Ketika pertempuran Nopember 1945, GNI Surabaya masih menjadi Pusat Darurat BKR Surabaya sampai pasca terbunuhnya Mallaby gedung tersebut ditinggalkan tanpa ada yang mengurus lagi. Bahkan pada tanggal 29 Nopember 1945 pendopo dan paviliun selatan GNI Surabaya hancur terkena mortir.