Cagar Budaya

Informasi
Kawasan Cagar Budaya

Kampung Kraton (situs)

Kampung Kraton, Alun-alun Contong, Bubutan
Kawasan Cagar Budaya

KRATON SURABAYA
 

  1. BERDIRINYA KADIPATEN SURABAYA

Sistem pemerintahan di Surabaya pernah berbentuk ‘Kadipaten’. Kadipaten adalah daerah atau suatu wilayah administrasi yang dipimpin oleh seorang adipati di bawah kendali sebuah kerajaan  atau kesultanan. Pusat pemerintahan kadipaten disebut dengan ‘kraton’.  Pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit, Surabaya menjadi sebuah wilayah administrasi dan merupakan pelabuhan terpenting bagi Majapahit. Setelah keruntuhan Majapahit tahun 1526, Surabaya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Demak. Namun, pada tahun 1546, penguasa lokal Surabaya pada waktu itu, Pangeran Surabaya atau Jayalengkara melihat kesempatan untuk membebaskan diri dari Kesultanan Demak dan memperkuat Surabaya menjadi negara kota atau kota yang berdiri sendiri, merdeka seperti sebuah negara yang mandiri dan maju. Maka tahun 1546 terbentuklah Kadipaten Surabaya yang merupakan sebuah wilayah administrasi yang bersifat monarki. 

Awal abad ke-17, Kadipaten Surabaya yang berpusat di pantai utara Jawa bagian timur menjadi kekuatan utama di Jawa Timur.  Surabaya merupakan negara yang kaya dan kuat. Luas wilayahnya sekitar 37 kilometer, dikelilingi parit dan diperkuat dengan meriam. Kota ini merupakan pelabuhan penting dalam rute perdagangan antara Malaka dan Kepulauan Rempah-rempah atau Kepulauan Maluku. Kadipaten Surabaya dibentengi oleh kanal dan meriam. Di bawah pemerintahan Jayalengkara, Kadipaten Surabaya semakin memperluas pengaruhnya ke seluruh daerah di bagian timur Jawa. 

Sekutu Kadipaten Surabaya antara lain Gresik, Sedayu, Pasuruan, Balmbangan, Wirasaba, Tuban, Malang, Kediri Lasem, semua di Jawa Timur serta Madura di lepas pantai utara. Selain sebagian besar wilayah di Jawa Timur, Surabaya juga bersekutu dengan Sukadana dan Banjarmasin di Kalimantan bagian selatan. Terbentuknya aliansi ini merupakan suatu respon terhadap kekuatan Mataram yang terus tumbuh, dan Surabaya adalah yang paling kuat. 

 

  1.  TATA LETAK KRATON MAJAPAHIT SEBAGAI MODEL ANATOMI IBU KOTA KABUPATEN DI JAWA
  2. Segaran
  3. Keraton
  4. Fasilitas Umum : Ekonomi dan Pemerintahan
  5. Tempat Ibadah Candi Brahu
  6. Alun-Alun Utara (Bubat)
  7. Alun-alun Kidul (Selatan)



 

Pola Umum Tata Letak Kota Kabupaten

Dalem Bupati (Kanjengan)

Pasar dan Kepatihan

Palabuhan (Tuban, Gresik, Surabaya)

Tempat Ibadah (Masjid : Surabaya, Tuban, Yogyakarta, Surakarta)

Alun-alun (Utara)

Alun-alun Kidul

 

Adapun Keraton Surabaya saat ini tinggal situsnya :

  1. Citus Keraton (Kampung Keraton)
  2. Fasilitas Umum (Pemerintahan) dan Ekonomi : Kepatihan dan Pasar Besar
  3. Kebon Raja
  4. Tempat Ibadah(Masjid Takmiriah)
  5. Alun-alun :  Taman Tugu Pahlawan.
  6.  Alun-alun Kidul (Alaun-alun Contong)
  7. Puri (Lawang Seketheng)
  8. Perkampungan Petugas Keamanan (Tambakbaya)
  9. Tempat pembantaian (pejagalan)
  10. Tempat para Tumenggung (Pejabat Kadipaten : Ketumenggungan).
  11. Bandaran Surabaya : Sukodono.


 

  1. SURABAYA DITAKLUKKAN OLEH MATARAM



 

Tersohornya Surabaya sebagai Kadipaten Surabaya sebagai kerajaan niaga, pusat perdagangan dan pelayaran  di Jawa Timur membuat Sultan Agung, penguasa Mataram ingin menjadikan Surabaya sebagai bagian dari kerajaannya. Berdasarkan laporan sebuah pos dagang VOC di Gresik, bahwa pada tahun 1602 hingga 1615 merupakan permulaan penaklukan Surabaya oleh Mataram. Konon, di tahun itu Surabaya mengirim pasukannya ke medan tempur melawan Mataram sebanyak 30.000 prajurit. Mataram yang dipimpin Sulltan Agung,  tidak juga bisa menaklukkan Surabaya, maka dari tahun 1614, Mataram menyerang sekutu-sekutu Surabaya terlebih dulu dengan melakukan serbuan ke Malang dan Pasuruan. Tahun 1615, Sultan Agung memimpin pasukan Mataram menaklukkan Wirasaba. 

Penaklukan Wirasaba membuat Surabaya dan negara sekutu bagian timur lainnya bersatu. Mereka mengerahkan pasukan dan bergerak menuju Pajang, sebuah kota di bawah kekuasaan Mataram yang berada di ambang pemberontakan. Namuna seorang mata-mata Mataram menipu pasukan sekutu dengan memilihkan rute yang salah sehingga pasukan sekutu terisolasi di Siwalan, dekat Pajang. Tentara sekutu akhirnya dikepung oleh Sultan Agung dan dikalahkan tahun 1616. Di tahun yang sama, Sultan Agung juga berhasil menaklukkan sekutu Surabaya lainnya yaitu Lasem. 

Tahun 1619, Mataram dibawah pimpinan langsung Sultan Agung berhasil menaklukkan Tuban, salah satu sekutu terkuat Surabaya. Hanya Surabaya yang belum berhasil ditaklukkan. Dari tahun 1620 hingga 1625, pasukan Mataram mengepung Surabaya secara berkala. Sebanyak lima ekspedisi dikerahkan Mataram untuk mengepung Surabaya. Yang pertama pada tahun 1620, tetapi gagal karena pasokan tidak memadai untuk pasukan Mataram. Upaya kedua tahun 1622 juga gagal karena kurangnya pasokan makanan. Pada saat yang sama, pada tahun 1622, Mataram juga mengirim pasukan untuk menyerang sekutu Surabaya yang tersisa yaitu Sukadana di Kalimantan dan berhasil. Upaya ketiga pengepungan Surabaya dilakukan tahun 1623 dan gagal juga. Tahun 1624, Mataram kembali melakukan penyerangan terhadap Surabaya bersamaan dengan penaklukan sekutu Surabaya yaitu Madura. Madura berhasil di taklukkan. Penaklukan Sukadana dan Madura secara berturut-turut membuat Surabaya mulai kewalahan karena pasokan untuk Kadipaten Surabaya sangat berkurang. 

Pengepungan kelima dan terakhir terjadi pada tahun 1625. Mataram membendung sungai Brantas yang merupakan sumber pasokan air utama bagi Surabaya dan mencemari persediaan air yang tersisa dengan bangkai binatang. Kurangnya persediaan air dan makanan menyebabkan kelaparan di Kadipaten Surabaya dan akhirnya memaksa Adipati Jayalengkara untuk menyerah kepada Mataram. Jayalengkara tetap diijinkan tinggal dan memimpin Surabaya di bawah kekuasaan Sultan Agung Mataram hingga akhirnya meninggal. 

VKOMPLEK KRATON SURABAYA

Semenjak terjadi Perang Surabaya tahun 1710-1723, cerita mengenai Kraton Surabaya hilang begitu saja. Kawasan yang disebut Kraton Surabaya saat ini sudah tidak dapat kita jumpai, tetapi adanya bukti berupa tembok kraton yang sekarang menjadi gapura Kampung Kraton dan beberapa nama kampung di Surabaya memiliki arti yang dapat menggambarkan keberadaan kraton Surabaya. Misalnya kampung Bubutan (Butotan atau pintu gerbang) di sebelah barat kraton, kampung Lawang Seketeng (pintu) di sebelah timur kraton dan Baliwerti (benteng penguat) di sebelah selatan.

Pada jaman sekarang, Kampung Kraton adalah kampung yang berada di antara Jalan Kramat Gantung dan Jalan Pahlawan. Sedangkan Kawasan Kraton Surabaya meliputi Bubutan, Pasar Besar, Kramat Gantung dan kampung sekitarnya.

Kampung Kraton, tepatnya di Gang  Kraton II, Kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan memiliki gapura khas kraton yang merupakan bukti bahwa Surabaya dulu pernah menjadi sebuah kerajaan tanpa raja, namun dipimpin oleh seorang adipati, sehingga disebut Kadipaten Surabaya. Gapura kraton ini memiliki tinggi 4 meter. Selain berfungsi sebagai pintu masuk, juga sebagai tempat pengintaian. Kanan kiri gapura ini diapit bangunan rumah dan toko. Kawasan yang berjuluk Kampung Kraton ini terdiri dari empat gang yang rata-rata berukuran lebar sekitar 2 hingga 3 meter, sementara panjang jalan sekitar 200 meter.





 

Sebagian Jalan Pahlawan dulu bernama Jalan Pasar Besar dan sebagian lagi bernama Jalan Alun-Alun, maka bisa dikatakan bahwa dulu di sana ada Alun-Alun Lor dengan Pasar Besar di sebelah timurnya. Di sekitar situ ada Kampung Kawatan dan Kampung Serayan.  Kawatan berasal dari nama tumbuhan sejenis pakis yang lembut, sedangkan Serayan berasal dari kata royo-royo atau segar. Di Kampung Kawatan itu tempo dulu ada lapangannya yang merupakan bagian dari Alun-Alun Lor. 

Dari komplek Kraton, sebelah selatan terdapat Alun Alun Contong. Kawasan alun alun contong merupakan titik pertemuan lima jalan, antara lain Jalan Pahlawan, Kramat Gantung, Baliwerti, Gemblongan dan jembatan Peneleh. Disebut dengan Alun-Alun Contong karena bentuknya memang mirip contong.

Alun-alun Contong sebenarnya bila di Kraton Surakarta atau Yogyakarta, dan di Majapahit adalah Alun-alun kidul, yaitu lokasi jalan keluarnya jenazah apabila ada Raja atau keuarganya yang wafat jalan keluarnya untuk menuju ke pamakaman para Raja Mataram di Imogiri, harus lewat pintu belakang yang terletak di Alun-alun Kidul. Kreton Surabaya setelah Perang Surabaya (1719-1722) yang dipimpin oleh Adipati Arya Jaya Puspita, dilarang ditempati.Oleh karena itu para pejalan kaki juga harus cepat-cepat melewatinya dengan jalan menyilang antara dua sudut alun-alun yang berbentuk empat persegi panjang. Jadilah bentuknya seperti contong. Sejak saat itu terkenal dengan sebutan Alun-alun Contong. Sabagai bagian dari dari komplek Kraton Surabaya Alun-alun Contong oleh Pemerintah Kota Surabaya telah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya di Kota Surabaya.




 

BAGIAN-BAGIAN DARI KRATON SURABAYA

Jadi yang dikatakan alun-alun kraton Surabaya itu dulu sangat luas. Mulai dari lahan tempat berdirinya gedung Bank Indonesia sekarang dan seluruh taman Tugu Pahlawan sampai ke arah Alun-Alun Contong dekat Baliwerti. 

Kampung Carikan juga erat hubungannya dengan dengan kraton. Carikan adalah tempat tinggal para Carik secara turun temurun. Carik merupakan jabatan bergengsi di Kraton Surabaya yang tugasnya adalah menerima tamu Adipati Surabaya. Carik juga berwenang untuk menolak kehadiran tamu yang tidak pantas untuk menghadap Adipati. Carik Bajra adalah Carik yang terkenal di Kadipaten Surabaya. Ia ahli dalam hubungan internasional dan menciptakan perdamaian. Oleh Raja Mataram diberi gelar Tumenggung Tirtowiguno. Tirtowiguno kemudian diangkat sebagai Patih Mataram oleh Sunan Namanya diganti sebagai Patih Natakusuma. Akan tetapi pada saat pecah Huru-hara China di Kartasura, menjadi pendukung Sunan Kuning atau Mas Garendi. Seatalah pasukan China yang dipimpin oleh Ki Sapanjang dapat diusir dari Mataram, Patih Nataukusuma dipecat dan dibuang ke Ceylon atau Ka selong.

Beberapa nama kampung yang berada di sebelah kiri komplek kraton dapat menguatkan keberadaan Kraton Surabaya dilihat dari artinya antara lain:

Tumenggungan  : tempat tinggal para tumenggung ;

Maspati               : tempat tinggal para patih kraton pengurus kraton atau pejaba yang 

        berhubungan langsung dengan Adipati Surabaya; 

Praban      : tempat tinggal para prabu atau raja atau adipati;

Kranggan            : tempat tinggal para rangga, pembuat keris;

Ngabla      : tempat tinggal juru bicara kraton (sekarang sudah tidak ada)

Ketandan      : berasal dari kata ketandang yang artinya prajurit kraton;

Bubutan      : berasal dari kata butotan yang berarti pintu gerbang.

 




 

Sebelah timur kraton terdapat simbol profesi masyarakat Surabaya, diantaranya:

Pandean          : pande, tempat tinggal para pande besi;

Plampitan          : lampit, tempat tinggal para perajin tikar lampit;

Peneleh          : teleh, tempat air atau tempat tinggal para pembuat tempat air; 

Pengampon         : ampo, pengopohan, tanah liat atau tempatpara perajin atau 

                                   pembuat tembikar tanah liat;

Pecindilan          : Cinde, kain bermotif kembang atau tempat pembuatan kain batik;

Pejagalan               : dari kata jagal, tempat tingga para penjual daging;

Pegirian  : giri, buruh karena letaknya dekat dengan pelabuhan;

Ngaglik                   : aglik, alat pembersih atau tempat pekerja tenun kain;

Ketabang                : mengayam gedek, pengusaha bangunan;

Ondomohen          : gemohen, gemain, gemoh, atau tempat pekerja kerajinan tangan;

Gubeng  : gubengan, kain kepala atau tempat membuat udeng.

 




 

Lokasi lain di Surabaya adalah tempat tinggal keluarga kraton diantaranya :

Keputran          : tempat khusus keluarga kraton;

Sidi Keputran       : tempat tinggal guru/pengasuh kraton;

Kayoon          : gunungan, ikatan sakral antara kraton dan keputran.

Ada pula Magersari yang merupakan wilayah bagian keputran, Simpang (percabangan sungai) dan Kampung malang (walangan, kayu atau hutan belantara).

Selain memiliki alun-alun, Kadipaten Surabaya juga memiliki sebuah kebun yang sangat luas atau bisa dikatakan hutan khusus untuk tempat berburu Sang Adipati, disebut Kebon Rojo yang berarti Kebunnya Raja, bila raja atau adipati tidak sempat melakukan perburuan di hutan. Kebun itu sekarang merupakan jalan Kebon Rojo dan wilayah sekitarnya.

KEPUSTAKAAN

  • Disbudpar Kota Surabaya, Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penetapan Pelestarian Bangunan dan atau lingkungan Cagar Budaya, Pemerintah Kota Surabaya, 2008.
  • Widodo, Dukut Imam. Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, Buku : I. Surabaya, 2008.
  • Kasdi, Aminuddin, dkk. Surabaya dan Jejak Kepahlawanannya. Surabaya, 2008.-