Cagar Budaya

Informasi
Koridor Cagar Budaya

Koridor Jalan Tunjungan

Jalan Tunjungan, Genteng, Genteng
Koridor Cagar Budaya

Dari peta Surabaya kuno tahun 1787 terlihat bahwa daerah jalan Tunjungan dulunya sekedar hanya merupakan jalan lewatan dari rumah penguasa Jawa bagian Timur (Gezaghebber) di daerah Simpang (gedung Grahadi sekarang – Jl.Pemuda) ke kantor pemerintahannya di mulut Jembatan Merah.    Tunjungan sebagai jalan lewatan (terutama oleh para pembesar Belanda waktu itu), lama kelamaan mulai menjadi ramai dan terkenal.  Tapi perkembangannya pada abad ke 19 sangat lambat. Hal ini bisa dimaklumi karena belum ada badan atau lembaga di Hindia Belanda yang khusus untuk mengurusi Kota waktu itu. Iklim, investasi ekonomi dengan adanya perdagangan liberal antara tahun 1870-1900, ikut memperbaiki investasi swasta di Hindia Belanda. Sehingga setelah th. 1900, banyak sekali kantor-kantor dagang yang membuka cabang di Surabaya. Juga setelah tahun 1905 dengan adanya U.U. Desentralisasi, yang disusul dengan pelaksanaan Undang-undang tersebut pada tahun 1906, Kota Surabaya pada tgl. 1 April 1906 di tetapkan menjadi Gemeente. Maka mulailah adanya pemekaran kota Surabaya kearah Selatan dari pusat kotanya yang waktu itu terletak di daerah Jembatan Merah. Iklim investasi ekonomi yang baik ditambah dengan dimulainya pemekaran kota Surabaya kearah Selatan sebagai kota modern awal abad ke 20 , secara tidak langsung ikut mendorong perkembangan daerah jalan Tunjungan tumbuh sebagai pusat retail, perhotelan dan kuliner di Surabaya. Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai th. 1942, sebelum Jepang masuk.   Jalan Tunjungan mengalamai perubahan pada tgl. 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, Termasuk di dalamnya terjadi insiden di sepanjang jl. Tunjungan.  Peristiwa penting selanjutnya terjadi setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.   Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya. Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono.  Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.   Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.  Setelah perang kemerdekaan pada th. 1950an Jl. Tunjungan muali ramai kembali. Toko-toko yang dulunya milik orang Belanda yang tutup, sekarang di buka kembali dengan pemilik yang baru. Toko-toko milik Belanda seperti Hellendoren, berganti menjadi Aneka Niaga. Toko Metro dan Aurora, Namanya tetap meskipin pemiliknya berganti. Demkian halnya dengan toko Nam.   Jalan Tunjungan masih menjadi tujuan wisata baik kuliner maupun belanja lainnya sampai tahun 1980 an. Tanda-tanda merosotnya Jl. Tunjungan dimulai sejak th. 1990 an. Munculnya konsep bentuk Gedung baru yang dinamakan Mall, dengan konsep belanja baru, serta sulitnya lahan parker di sepanjang jl. Tunjungan sering disebut sebagai sebab matinya toko-toko di sepanjang Jl. Tunjungan. Jl. Tunjungan yang dulunya sebagai tujuan wisata , sejal saat itu berubah menjadi sekedar jalan lewatan saja. Hla ini mengngatkan kita pada Jl. Tunjungan pada awal abad ke 20. Tapi sejak th. 2015, ada usaha untu menghidupkan kembali Jl. Tunjungan yang bersejarah itu. Troroar untuk pejalan kaki diperlebar, lampu hias jalan dan eksesorisnya diperbaiki. Toko-toko lama yang kehilangan Identitasnya karena ditutupi oleh papan seng yang lebar, kemudian dibuka kembali, sehingga kelihatan bentuk aslinya.   Secara estetika Jl. Tunjungan menjadi lebih baik. Tapi usaha secara ekonomi untuk menghidupkan kembali menjadi tujuan wisata masih belum berhasil sepenuhnya.