Cagar Budaya

Informasi
Bangunan Cagar Budaya

Makam Boto Putih

Jalan Pegirian, Simolawang, Simokerto
Bangunan Cagar Budaya

Pangeran Lanang Dangiran merupakan keturunan raja Tawangalun dari kerajaan Blambangan. Leluhurnya adalah Prabu Brawijaya V. Jika dirunut dari turunan Brawijaya V (Bhre Kertabhumi) Raja Majapahit, memiliki banyak anak dari selir-selirnya. Menurut versi babad, beberapa anak yang menonjol merupakan anak Brawijaya V dengan selirnya yang bernama Endang Sasmitapura. Satu diantaranya bernama Lembu Niroto atau Raden Sudjana yang menjadi Adipati Blambangan. Dari Raden Sudjana memiliki anak Menak Simban. Menak Simban memiliki anak bernama Menak Sumende. Menak Sumende memiliki anak Menak Gandru (Adipati Babatan), Menak Gandru memiliki anak bernama Menak Werdati, Menak Werdati memiliki putra bernama Menak Lumpat atau dikenal sebagai Sunan Rebut Payung (sebagai Raja di Werdati, daerah kekuasaan kerajaan Blambangan). Sunan Rebut Payung kemudian mempunyai putra bernama Pangeran Tawangalun I atau Pangeran Kedawung. Pangeran Tawangalun I memiliki 5 orang putera dan salah satunya adalah Pangeran Lanang Dangiran. 

Pangeran Lanang Dangiran tinggal bersama Kyai Kendil Wesi dan istrinya di Sedayu, Lamongan sebelum ke Surabaya dan dijadikan anak angkat oleh Kyai Kendil Wesi. Seama tinggal bersama Kyai Kendil Wesi, Pangeran Lanang Dangiran juga mendalami ilmu agama dan tampil pula sebagai pemuka agama, kemudian mendapat sebutan sebagai Kyai Ageng Brondong. Asal sebutan ‘Brondong’ konon menurut cerita yang beredar di masyarakat didapat dari seluruh tubuhnya yang dilekati karang dan keong akibat lama bertapa di laut sehingga seolah-olah seluruh badannya ditempeli dengan bakaran jagung yang dalam bahasa Jawa disebut ‘brondong’. 

Menurut legenda, pada usia 18 tahun, Pangeran Lanang Dangiran bertapa di laut dan menghanyutkan dirinya di atas sebuah papan kayu dan sebuah bronjong (alat penangkap ikan), tanpa makan ataupun minum. Arus air laut dan gelombang membawa Pangeran Lanang Dangiran sampai ke laut Jawa dan akhirnya terdampar di pantai dekat Sedayu. Saat terdampar dalam kondisi tidak sadar inilah, Pangeran Lanang Dangiran ditemukan dan dirawat oleh Kyai Kendil Wesi.

Ki Ageng Brondong menikah dengan puteri dari Kyai Bimotjili dari Panembahan Cirebon. Suatu saat, Kyai Ageng Brondong diminta oleh Kyai Kendil Wesi untuk pergi ke Ampel Denta Surabaya untuk berguru pada Sunan Ampel dan menyebarkan agama Islam. Tahun 1595, Kyai Ageng Brondong beserta istri dan beberapa anaknnya yang masih kecil tinggal menetap di seberang timur Kali Pegirian, masih kawasan Ampel yaitu Dukuh Boto Putih (silo petak/batu putih). Pada waktu itu Kadipaten Surabaya masih merdeka, tidak dijajah oleh Mataram dan yang memegang kekuasaan adalah Pangeran Pekik. Kyai Ageng Brondong kemudian mendirikan pondok pesantren dan menyebarkan agama Islam. Kyai Ageng Brondong mendapatkan martabat yang tinggi dari masyarakat seKitar karena ilmu agama dan keluhuran budinya sehinga mendapat sebutan Sunan Boto Putih. 

Di dukuh Boto Putih ini pula (dulu menjadi bagian dari wilayah yang disebut Hujung Galuh) Jayakatwang, Raja Kediri pernah ditangkap dan diasingkan oleh Raden Wijaya. Menurut kitab Pararaton, Jayakatwang ditawan di benteng pertahanan Mongol di Hujung Galuh dan meninggal setelah membuat sebuah karya sastra  kidung berjudul Wukir Polaman.


-