Cagar Budaya

Informasi
Bangunan Cagar Budaya

Selolah/panti Asuhan Don Bosco

Jl Tidar 116, Sawahan, Sawahan
Bangunan Cagar Budaya

Gedung Don Bosco berlokasi di Jalan Tidar 115, yang saat ini bangunannya berfungsi sebagai panti asuhan dan sekolah Don Bosco. Don Bosco merupakan asrama anak panti asuhan Belanda yang digunakan Jepang sebagai gudang senjata terbesar di Surabaya. Nama Don Bosco di ambil dari seorang Pastor bangsa Italia bernama: Johanes Bosco, yang waktu kecil berasal dari keluarga miskin dan ayahnya telah meninggal dunia. Tanpa uang dan bantuan selain dari ibunya sendiri, mulailah ia mengumpulkan dan menampung beberapa anak. Sifat-sifat kepribadiannya yang utama dari penampilan Don Bosco terhadap kaum muda yaitu : Kegembiraan, Kepercayaan, Kesalehan, Kebebasan, yang serempak merupakan suasana yang paling tepat untuk menaklukkan anak dan rahasia dari suksesnya Don Bosco terletak pada kasih sayangnya yang luar biasa pada anak. Sebelum perang, gedung Don Bosco merupakan asrama pendidikan Katolik yang terletak di perbatasan Surabaya sebelah barat, di dekat perkampungan Sawahan Gedung Don Bosco juga pernah menjadi markas pasukan teknik Tentara Keamanan Rakyat Gajah Mada.

Pada awal berdirinya, yayasan Don Bosco belum memiliki gedung sendiri, anak-anak ditampung di panti-panti lain dan di rumah pondokan. Panti pertamanya di rumah sewaan di Jalan Ngemplak Nomor 7-8, Surabaya.

Pada 9 Oktober 1936, Yayasan Don Bosco mampu membeli tanah pertama di Jalan Tidar. Pada 16 November 1937 Panti Don Bosco pindah ke Jalan Tidar dan kemudian didirikan taman kanak-kanak dan sekolahan 

 

Peristiwa pelucutan senjata

Pada tahun 1942-1945, anak-anak panti asuhan  Don Bosco sekitar 270 anak harus diungsikan ke salah satu gedung di depan Katedral Surabaya, di Jalan Polisi Istimewa oleh karena Jepang menjadikan gedung Don Bosco sebagai gudang senjata.

Pada saat itu pasukan yang mengusai Don Bosco adalah Dai 10360 Butai Kaisutiro Butai di bawah pimpinan Mayor Hashimoto dengan pasukan yang terdiri dari satu detasemen tentara berikut pegawai sipil yang berjumlah 150 orang. 

Pada 26 September 1945, Don Bosco dikepung masyarakat. Sejak pagi buta, para pejuang memenuhi halaman yang semakin lama semakin banyak jumlahnya. Mereka adalah massa pemuda dari kampung sekitar Sawahan, Asem Rowo, pelajar, BKR, PRI yang menunjukkan kenekatan untuk menyerbu masuk gudang senjata di dalamnya untuk melucuti senjata tentara Jepang. 

Di tengah keributan, muncullah Mohamad Mangoendiprodjo bekas Daidanco PETA yang mencoba melerai emosi massa dengan berpidato menganjurkan ketenangan dan disiplin. Soetomo (dikenal nama Bung Tomo) yang merupakan bekas wartawan kantor Berita Domei,  waktu itu sudah bergabung dengan BPRI, tampil kedepan membakar semangat rakyat untuk serentak maju dan masuk kedalam gedung. Sejumlah pemuda dari BKR – Kaliasin dan massa pelajar sudah tidak sabar mengambil senjata ringan seperti pistol dan karaben yang diletakkan di meja panjang.

 

Perundingan dan Penyerahan Don Bosco

 Pamoedji yang memimpin pasukan bersenjata dari BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) Pusat segera mengamankan tempat-tempat vital dalam gedung. Beberapa golongan pemuda antara lain : Djamal, H.R Mohamad (bekas Daidancho), Soetomo mengadakan perundingan dengan Mayor Hashimoto. Pimpinan gudang senjata tersebut tidak memiliki pilihan lain kecuali setuju menyerahkan senjata dan amunisinya, yang berada dalam tanggung jawab resmi kesatuan Polisi Istimewa.

Pada Siang hari, dalam kepungan rakyat dan pemuda, Inspektur Polisi  Mohammad Jasin Komandan Polisi Istimewa datang menandatangani naskah perjanjian serah terima senjata sebagai jaminan keselamatan tentara Jepang. Dengan perjanjian tersebut maka senjata, amunisi berikut bahan peledak jatuh di tangan massa pemuda. Penyerahan senjata berlangsung tertib dan disaksikan seluruh rakyat di Don Bosco. Senjata sitaan tersebut langsung dibagikan kepada rakyat dan badan-badan perjuangan lain seperti kepada Tentara Genie Pelajar serta kepada  Arek-arek Suroboyo yang saat itu hanya mengandalkan senjata seadanya seperti Bambu Runcing. 

Gedung Don Bosco kemudian dijadikan Markas Genie Pelajar (TGP) dibawah pimpinan Hasanuddin Pasopati. Pada tahun 1947, aktivitas di Don Bosco sudah mulai berjalan kembali dan Yayasan Panti Asuhan Don Bosco terus berkembang pesat hingga saat ini. 

 

Sumber : 

  • Pasukan Polisi Istimewa (Prajurit Istimewa dalam Perjuangan Kemerdekaan di Jawa Timur); Lorenzo Yauwerissa tahun 2003
  • Des Alwi “Pertempuran Surabaya November 1945, catatan Julius Pour”
  • Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1870-1940); Ir.Handinoto; diterbitkan atas kerjasama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen PETRA Surabaya dan Penerbit Andi Yogyakarta;  tahun 1996.

-